Simpang tiga dalam Gunung Tembak kala malam (doc. pribadi) |
"Kenangan adalah cara untuk merawat pikiran,kadang-kadang" (kataku)
Padahal bulek rombong dorong yang
menjajakan makanan tahu tek-tek sudah mulai berkemas perlengkapan dagangannya, mas
penjual sate ayam sebelahnya juga sudah selesai berkemas dengan jualannya dan
mematikan lampu penerangnya. Tak lama datang pembeli terakhir yang sepertinya
sudah sangat akrab dan hapal harus dibuat seperti apa pesanannya sesekali
melemparkan guyonan untuk membuat suara lain selain suara dari ulekan bumbu
kacang tahu tek-teknya.
Ditemani rekan penjual lainnya seorang wanita yang duluan selesai dengan jualannya karena malam ini pembeli agak sepi, keluhnya kepada bulek tahu tek-tek. Mendangarkan obrolan orang lain adalah kebiasaan saya yang pastinya bukan karena saya ingin sangat tahu atau ingin mencampuri urusan orang lain. Bagi saya mendengarkan adalah bagian dari seni dalam hidup, karena dengan ini saya dapat mengetahui dan menggali sebanyak mungkin informasi apa yang yang terjadi sekitar lingkungan saya.
Ditemani rekan penjual lainnya seorang wanita yang duluan selesai dengan jualannya karena malam ini pembeli agak sepi, keluhnya kepada bulek tahu tek-tek. Mendangarkan obrolan orang lain adalah kebiasaan saya yang pastinya bukan karena saya ingin sangat tahu atau ingin mencampuri urusan orang lain. Bagi saya mendengarkan adalah bagian dari seni dalam hidup, karena dengan ini saya dapat mengetahui dan menggali sebanyak mungkin informasi apa yang yang terjadi sekitar lingkungan saya.
Pesanan tahu tek-tek saya sudah
dihidangkan dengan seperti biasa,tanpa ada standar-standaran khusus ala café atau
resto, seperti biasa kuah kacang bercampur bahan lainnya tetap disiram diatas
lontong dan beberapa jenis sayur seperti biasa yang dari dulu tetap itu-itu
saja bentuknya, yang berbeda dari dulu mungkin bulek penjualnya yang sudah sedikit
berubah dari segi fisiknya dan umurnya bertambah pastinya. Oh iya yang berubah
hanya media krupuknya, yang dulu langsung di taruh diatas bumbu kacangnya
sekarang dengan menggunakan piring terpisah, apakah ini sebagai standar baru
dalam hidangan tahu tek-tek di kampung saya. Pastinya dengan adanya piring
tambahan berarti harga dari seporsi hidangan ini pun akan bergerak naik,
semacam strategi untuk menaikkan harga dengan cara yang cantik.
“Sekarang sepi Mas”. Bulek itu
membuka obrolan denganku, saya bilang aja bahwa memang waktu sudah malam sembari
melihat jam di handphone yang telah
menunjukkan pukul 22:15 Wita, sebenarnya belum terlalu juga. Saya tahu bahwa
bulek ini telah lama berjualan di simpang tiga ini bahkan beberapa tetangganya
pun yang saya kenal juga menjadi penjual di simpang ini. Rasanya tidak ada
perubahan atau memang standart rasa tahu tek-tek di kampong ku ini memang
seperti ini, seperti paklek satunyan yang tidak berjualan malam ini, itu pun juga
dekat dengan jualan bulek ini. Hamper habis makanan dipiring saya walau pun
kerupuknya masih tersisa agak banyak di dekatnya, bulek tersebut tetap setia
menemai saya sebagai pembeli terakhir di rombongnya.
Jejeran mobil terparkir di seberang
rombong menjadi bahan obrolan saya dan bulek ini, bukan menceritakan siapa saja
pemilik mobil tersebut. Jejeran mobil tersebut menjadi bahan obrolan karena
dahulu kala tepat dijejeran mobil tersebut adalah jejeran para ibu-ibu penjual
makanan dan kue basah ketika malam tiba. Bisa dikatakan bahwa penjual tahu
tek-tek ini adalah saksi hidup keramaian kampong ini ketika malam tiba, Cuma saat
itu bulek ini masih belu terlalu tua dan saya juga masih kecil kala itu, pastinya.
Sejarah bermunculannya jejeran penjual
makanan kala itu bisa jadi seiring dengan adanya gedung bioskop yang kini
gedungnya saja sudah tidak ada Bioskop di kampung saya tersebut perlahan mati
dan musnah seiring berkembangnya tehnolgi pemutaran film, awal kemunculan film
dalam bentuk media laser disc turut mematikannya atau bisa juga selera penonton
yang mulai bergeser seiring dengan makin banyaknya warga yang sudah mampu
membeli televisi dimana kala itu harganya lumayan mahal dizamannya. Saat itu
pun saya masih ingat ketika sore kita kerumah teman yang sudah memliki televisi
hanya untuk menonton serial film kartun atau biasa kami sebut film “kokos” saya
pun sampai saat ini malas mencari artinya “kokos” tersebut.
Masih ingat di benakku ketika gedung
biokop tadi memutar film seri saur sepuh yang berepisode-episode itu atau film
Rhoma Irama dangan gitar andalannya, maka malam di kampung saya menjadi ramai
karena orang-orang dari kampung sekitarnya akan datang untuk menonton film
tersebut atau hanya sekedar datang menikmati suasana malam disini.
“Beda yah Bu dengan malam-malam
seperti dulu”, kataku. Buleknya tersenyum sepertinya pikirannya ikut masuk
kedalam kenangan waktu dulu ketika melihat keseberang rombongnya yang telah di
penuhi jejeran mobil terparkir, penjualnya sudah banyak yang meninggal dunia juga,
katanya. Dulu, katanya lagi sewaktu masih ada bioskop kampung ini kalo malam
terasa hidup, penjual makanan juga banyak itu belum lagi dengan para penjual
yang ikut bermunculan saat ada pemutaran film yang berjualan disekitar bioskop
dimana jadwal tayang filmnya bukan tiap malam.
Makanan didepan saya telah habis bersamaan
dengan selesainya bulek tadi mengemas rapi perlengkapan dagangannya. Lampu penerangan
yang tidak terlalu terang dimatikan, ditemanin dengan kerabatnya yang datang
membantu membawa perlengkapan jualannya dan bulek tersebut jugalah yang mendorong
rombong untuk memasuki gang sempit menuju rumahnya. Saya menyampatkan untuk
duduk sebentar dimeja ini sembari memandangi pertigaan yang ada tiang listik
tepat disudut pertigaannya dengan lampu otomatis yang menjadi penerang jalan
kala malam tiba yang telah bebarapa kali di perbaiki ketika lampunya putus.
Masih ingat di pertigaan tersebut
menjadi tempat nongkrong yang zaman sekarang sudah tidak ada lagi budaya
tersebut. Pertigaan dimana saat nongkrong juga menjadi penanda terbaginya
beberapa kubu anak-anak, ada anak dalam dan anak luar yang dipisahkan jalan
yang tidak sampai delapan meter lebarnya. Pertigaan yang masih ada sedikit
ruang buat sekedar duduk-duduk menghabiskan malam hingga tak jarang turut
melupakan tugas sekolah atau PR kala itu. Pertigaan dimana cerita-cerita lucu
mengalir bebas diiringi tawa bebas bahkan bisa sampai melupakan cita-cita bahwa
kelak saya ingin menjadi polisi,tentara dan dokter tapi tak pernah serius belajar
karena menikmati simpang tiga disetiap malamnya.
Pukul 22:30,Nampak simpang tiga sudah
lengan, temarang ditambah lagi beberapa lampu depan rumah warga juga ikut padam
walaupun ada beberapa yang masih menyalakan lampu depannya hingga pagi tiba. Seiring
berjalannya waktu sepertinya pola interaksi anak-anak hingga orang dewasa bukan
lagi berkumpul seperti dulu, zaman ketika serbuan smartphone yang berisi
layanan aplikasi lengkap berisi hiburan dan informasi yang dapat memanjakan
dalam mengisi waktu atau bagi anak-anak
bisa membuatnya asik sendiri menikmati game online atau game yang bisa langsung
dimainkan tanpa sambungan internet. Pola interaksi berubah sepenuhnya menjadi
sedikit individual atau bahkan memang sudah menjadi individual, interaksi
berubah menjadi interaksi tak langsung lagi karena media interaksi anatar sesama
pun hanya melalui saluran dunia maya yang
di hubungkan dengan saluran jaringan internet walaupun mereka berdekatan
jaraknya.
Pertigaan ini, dan malam ini cukup menjadi
kenangan saja. Cerita yang ada kala itu akan tersimpan dengan baik dibenak kami
para penikmatnya, lalu akan kami ceritakan kembali cerita kenangan tersebut ketika
kami bertemu lagi. Pertigaan ini semoga
akan tetap menjadi titik temu dari tiga masa lintas generasi kampung ini,generasi
tua,muda dan generasi akan datang sebagai penerus kehidupan untuk tetap menghidupkan
kampung ini, bersama-sama merawatnya dengan penuh kedamaian didalamnya, semoga.
(2/8/19)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar